Saya merasa kagum kepada Presiden Federasi Rusia, Vladimir Putin. Walau namanya telah melekat pada berbagai kontroversi terutama kebijakan luar negeri, termasuk operasi militer khusus di Ukraina.
Satu hal membuat saya menghargainya: ketika ia memilih untuk menunjukkan empati di tengah bencana besar yang menimpa saudara-saudara kita di Pulau Sumatera. Bagiku, itu adalah cerminan dari pribadi yang hangat, bersahabat, dan menghargai rasa kemanusiaan.
Pada tanggal 30 November 2025, Putin menyampaikan belasungkawa secara resmi kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, terkait bencana banjir bandang dan longsor yang melanda wilayah utara Pulau Sumatera mencakup provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Putin menyatakan duka cita mendalam atas jatuhnya korban jiwa dan kerusakan besar akibat bencana alam. “Rusia turut berduka cita bersama mereka yang kehilangan keluarga dan kerabat,” katanya.
Selain belasungkawa, Rusia melalui pernyataan tersebut menunjukkan solidaritas internasional pada saat genting. Bagi saya, tindakan seperti itu menunjukkan sikap gentleman: peduli terhadap sesama tanpa melihat batas nasional, tanpa pamrih, dan tanpa embel-embel politik.
Mengapa Belasungkawa Itu Penting bagi Kita
Bagi banyak orang, sebuah ucapan belasungkawa dari pemimpin luar negeri dalam konteks krisis kemanusiaan yang dahsyat seperti bencana besar di Sumatera berarti banyak. Berikut alasannya:
1. Simbol Empati Global
Ketika pemimpin sebuah negara besar seperti Rusia angkat suara, itu memberi kesan bahwa dunia melihat dan peduli terhadap penderitaan kita. Bukan sekadar solidaritas formal, melainkan ungkapan simpati yang bisa menguatkan rasa kemanusiaan universal.
2. Dukungan Moral bagi Korban dan Pemerintah
Ucapan dari luar negeri dapat memberikan dukungan moral baik bagi para korban maupun bagi pemerintah yang tengah menghadapi tekanan besar. Di tengah rasa kehilangan, kesedihan, dan keputusasaan maka dukungan eksternal bisa memberi harapan, rasa tidak sendiri.
3. Pengakuan Internasional terhadap Tragedi
Saat dunia mengakui dampak besar bencana, hal itu dapat membantu menekan agar bantuan kemanusiaan mengalir lebih cepat, dan memacu perhatian global terhadap penyebab penggunaan lahan, deforestasi, dan dampak perubahan iklim.
4. Pengingat Nilai Keberadaban dan Solidaritas
Kita hidup di dunia yang makin mengglobal. Dalam kondisi darurat, batas geografis atau politik seharusnya tidak menghalangi rasa kemanusiaan. Sikap seperti Putin mengingatkan kita bahwa dalam penderitaan, nilai solidaritas lebih besar daripada sekadar kepentingan negara.
Keprihatinan: Kontroversi vs. Tindakan Kemanusiaan
Saya tidak menafikan bahwa nama Vladimir Putin juga berhubungan dengan kontroversi kebijakan terutama geopolitik. Namun, dalam pandanganku, penghargaan tidak otomatis diberikan hanya karena nama besar atau kekuasaan. Penghargaan patut diberikan saat seseorang menunjukkan empati dan tanggung jawab kemanusiaan bahkan terhadap negara lain.
Dalam hal ini, meskipun banyak hal untuk dikritik dari sisi politik, saya memilih menghargai tindakan yang menunjukkan kepedulian kemanusiaan tulus. Sikap seperti itu punya nilai yang universal, dan patut diapresiasi tanpa mengabaikan aspek lain dari perjalanan politiknya.
Mengingat Gentleman Sejati dari Tanah Air — Teladan dari Para Pendahulu
Ketika saya melihat tindakan Putin, saya lantas teringat sosok-sosok kenegarawanan khas Indonesia masa dulu seperti Mohammad Hatta (Bung Hatta), Mohammad Natsir, dan Haji Agus Salim. Mereka adalah contoh pemimpin Indonesia yang sederhana, berintegritas, dan konsisten antara pemikiran, ucapan, dan tindakan.
Bung Hatta dikenal sebagai negarawan dan proklamator kemerdekaan, yang memegang teguh prinsip moral dan tanggung jawab.
Mohammad Natsir, di samping keterlibatannya dalam politik dan dakwah, adalah figur sederhana. Disebut oleh salah satu sejarawan asing sebagai “the last giants among Indonesia’s nationalist and revolutionary political leaders”.
Haji Agus Salim, diplomat dan tokoh pergerakan, dikenal sebagai sosok cerdas, tegas, dan sangat sederhana dalam gaya hidupnya.
Bagi saya, mereka mewakili “gentleman sejati” Indonesia. Orang yang tidak hanya bersuara lantang, tetapi juga menunjukkan kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab moral dalam setiap tindakan.
Sayangnya, seiring waktu, saya sering bertanya: kapan kita akan melihat kembali sosok-sosok seperti mereka — pemimpin yang konsisten antara pemikiran, ucapan, dan tindakan? Yang menempatkan kemanusiaan, keadilan, dan keteladanan di atas ambisi pribadi?
Asal-usul Kekaguman —Apa yang Membentuk Karakter Gentleman?
Dalam refleksi saya, rasa kagum kepada figur seperti Putin (dalam konteks belasungkawa), atau Bung Hatta, Natsir, dan Agus Salim, timbul karena mereka menunjukkan nilai-nilai universal: empati, kesederhanaan, dan tanggung jawab. Namun lebih dari itu, saya percaya bahwa sikap seperti itu sering kali juga lahir dari akar budaya, tradisi, dan lingkungan pendidikan.
Saya pernah berpikir: apakah tradisi pendidikan keagamaan atau tradisi hidup sederhana seperti yang lazim di surau atau pesantren, kampung, dan komunitas Minangkabau dapat membentuk karakter kepemimpinan yang mandiri, kuat moralnya, dan rendah hati? Apakah gaya hidup sederhana dan pengabdian terhadap masyarakat bisa memengaruhi seseorang untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi?
Tahun demi tahun, perubahan sosial, urbanisasi, serta godaan kemapanan bisa menggerus nilai-nilai itu. Kesederhanaan mungkin tergantikan dengan gaya hidup konsumtif. Tradisi kolektif bisa tergantikan dengan individualisme. Dan dalam situasi seperti itu, kemanusiaan sering kali terpinggirkan.
Kenapa Sosok “Pemimpin Minang Zaman Dulu” Jarang Muncul Lagi?
Saya pun bertanya: mengapa saat ini kita jarang melihat sosok dari kalangan Minangkabau atau dari tradisi budaya lain yang tampil dengan keberanian dan ketegasan seperti Natsir, Hatta, atau Agus Salim? Apakah generasi sekarang terlalu sibuk dengan urusan materi, atau terlalu dibelenggu oleh sistem politik dan birokrasi?
Saya menyadari, jawabannya mungkin sederhana tetapi juga menyedihkan. Banyak dari mereka memilih jalan hidup yang nyaman, aman, dan stabil. Fokus pada karier, bisnis, atau kehidupan urban. Kesederhanaan, pengabdian, dan idealisme seringkali tergantikan oleh pragmatisme.
Sementara itu, mereka yang masih memegang nilai-nilai lama yaitu kesederhanaan, pengabdian, solidaritas justru sering terpinggirkan. Dalam sistem yang kompleks dan kompetitif, idealisme bisa dianggap naif. Dan sayangnya, banyak yang memilih diam atau menyesuaikan diri daripada memperjuangkan nilai-nilai luhur tersebut.
Perlunya Menghidupkan Kembali Nilai-nilai Kepemimpinan & Kemanusiaan
Bagi saya, momen bencana seperti banjir dan longsor di Sumatera tidak hanya soal kerugian materi dan korban jiwa. Ia juga menjadi ujian moral bagi siapa pun yang memandang. Di tengah derita, sejumlah negara dan pemimpin asing menunjukkan empatinya seperti ucapan belasungkawa dan solidaritas dari Rusia. Itu mengingatkan kita bahwa kemanusiaan tidak mengenal batas.
Di pihak kita: sudah waktunya untuk kembali menempatkan nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, dan tanggung jawab sebagai landasan bersama, tidak hanya dalam politik, tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa meneladani figur-figur masa lalu: pemimpin sederhana, jujur, tidak ambisius berebut kuasa, tetapi gigih memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Tentu, perubahan zaman tidak bisa dibenturkan dengan nostalgia semata. Tapi kita bisa mengambil pelajaran besar dari sejarah: bahwa karakter, integritas, dan kesederhanaan bisa menjadi sumber kekuatan yang tahan lama, lebih kuat daripada kekuasaan semu yang rapuh karena ego dan ambisi.
Kesimpulan: Antara Kekaguman dan Harapan
Kekaguman saya kepada Putin dalam hal belasungkawa terhadap bencana kemanusiaan Kekaguman itu lahir dari rasa kemanusiaan, dari penghargaan terhadap sikap sederhana yang menghargai nyawa dan penderitaan manusia.
Di saat yang sama, kekaguman itu memunculkan harapan: bahwa di Indonesia, kita juga mampu menghidupkan kembali teladan pemimpin seperti Bung Hatta, Mohammad Natsir, dan Haji Agus Salim yang sederhana, jujur, berintegritas, berpikir ke depan, dan menempatkan kemanusiaan di atas segalanya.
Semoga kita tidak hanya mengenang mereka sebagai sejarah tetapi juga menjadikan nilai-nilai mereka sebagai pijakan dalam membangun masa depan bersama. Di tengah tantangan zaman, krisis kemanusiaan, dan kompleksitas sosial-politik, nilai-nilai kemanusiaan, keteladanan, dan solidaritas tetap menjadi fondasi yang vital.
Daftar Referensi.
Alhikmah.ac.id. (n.d.). Belajar dari kesederhanaan Natsir. Diakses dari https://alhikmah.ac.id/belajar-dari-kesederhanaan-natsir/
Merdika.id. (n.d.). Kesederhanaan manusia politik bernama Haji Agus Salim. Diakses dari https://merdika.id/kesederhanaan-manusia-politik-bernama-haji-agus-salim/
Netralnews.com. (n.d.). Putin sampaikan belasungkawa ke Prabowo soal banjir Sumatera. Diakses dari https://www.netralnews.com/putin-sampaikan-belasungkawa-ke-prabowo-soal-banjir-sumatera/Wm9md1dXWnpVeVp4a1JtUDRzbHpoQT09
Okezone News. (2023, 12 Juli). Kisah kesederhanaan hidup Hatta, sampai tak bisa beli sepatu dan kesulitan bayar listrik. Diakses dari https://news.okezone.com/read/2023/07/12/337/2844914/kisah-kesederhanaan-hidup-hatta-sampai-tak-bisa-beli-sepatu-dan-kesulitan-bayar-listrik
RRI. (n.d.). Surau Minangkabau wadah pembentukan generasi kuat dan berkarakter. Diakses dari https://rri.co.id/features/774193/surau-minangkabau-wadah-pembentukan-generasi-kuat-dan-berkarakter

