Ketika Rumah Saya Diteror: Harapan untuk Polri yang Lebih Transparan dan Melindungi Jurnalis

Redaksi
Desember 04, 2025 | Desember 04, 2025 WIB Last Updated 2025-12-03T18:12:27Z
Jakarta,detiksatu.com  - Malam itu, udara terasa begitu berat. Sekitar pukul 11 malam, suara sepeda motor berhenti di depan rumah, lalu deru mesinnya melaju cepat setelah seseorang melemparkan sesuatu ke arah jendela. Sekilas, saya melihat bayangan seseorang sebelum lenyap di tikungan gelap. Saat saya keluar, hanya ada sisa batu kecil dan rasa was-was yang menyelimuti. Malam itu, rumah saya diteror oleh orang tak dikenal (OTK).

Sebagai seorang jurnalis yang telah lebih dari dua dekade bekerja di lapangan, saya tidak asing dengan tekanan. Namun ancaman langsung ke rumah pribadi tentu berbeda. Ia mengusik ruang aman saya sebagai manusia biasa, bukan hanya sebagai jurnalis. Sejak malam itu, saya merenungkan kembali: sampai di mana sebenarnya negara hadir untuk melindungi warga, termasuk jurnalis yang menjalankan tugas konstitusionalnya sesuai Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999?

Keesokan harinya, saya melaporkan peristiwa tersebut kepada Danramil 1408-11/Biringkanaya, Mayor Kav Salahuddin Basir. Beliau dengan cepat menanggapi dan menunjukkan empati besar. Bahkan ia langsung menghubungi seseorang di Polsek Biringkanaya untuk menyampaikan informasi bahwa, “rumah jurnalis Pak Iman diteror orang tak dikenal.”

Namun jawaban dari salah satu oknum polisi berpangkat perwira di sana sungguh mengejutkan: “Oh ya, dia masih butuh sama polisi juga ya?”

Ucapan itu menusuk perasaan saya. Kalimat singkat tapi sarat makna sinis. Dalam hati kecil, saya menduga ada nada sentimen terhadap kerja-kerja jurnalistik saya. Sebab selama ini, saya memang banyak menulis tentang konflik agraria, eksploitasi lahan oleh korporasi besar, dan lemahnya penegakan hukum di sektor sumber daya alam. Mungkin karena tulisan-tulisan itu menyentuh kepentingan pihak-pihak tertentu, hingga muncullah sikap dingin dari sebagian aparat.

Padahal, saya melapor bukan sebagai “kritikus polisi”, melainkan sebagai warga negara yang membutuhkan perlindungan. Bukankah Polri hadir untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat tanpa pandang bulu?

Pernyataan sinis tadi membuat saya berpikir keras tentang makna profesionalisme dan transparansi dalam tubuh Polri. Saya tidak menyalahkan institusi secara keseluruhan, karena saya tahu banyak polisi yang berdedikasi tinggi, bekerja siang malam menjaga keamanan, bahkan rela berkorban jiwa. Namun, pengalaman seperti ini memperlihatkan bahwa masih ada sebagian oknum yang mencoreng wibawa institusi besar itu.

Bagi saya, jurnalis dan polisi seharusnya berdiri di sisi yang sama, membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Jurnalis bekerja bukan untuk mencari musuh, tetapi untuk mencari fakta dan menyampaikan kebenaran kepada publik. Saya menulis dan meliput bukan karena ingin menjatuhkan seseorang, melainkan karena saya percaya bahwa rakyat berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sekitar mereka. Jika ada pelanggaran, penyimpangan, atau ketidakadilan, tugas jurnalislah untuk membuka tabirnya. Dan di sanalah seharusnya polisi hadir, bukan untuk mengintimidasi, melainkan untuk melindungi.

Sayangnya, di banyak daerah, kebebasan pers masih sering berbenturan dengan ego kekuasaan dan kepentingan ekonomi. Tak jarang, jurnalis yang bekerja sesuai kode etik justru menjadi korban kekerasan atau kriminalisasi. Padahal, UU Pers No. 40 Tahun 1999 sudah jelas menyebutkan bahwa jurnalis memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum saat menjalankan tugas jurnalistiknya.

Dalam perjalanan panjang saya sebagai jurnalis advokasi, saya telah menyaksikan banyak bentuk penderitaan masyarakat di pedesaan, terutama petani yang kehilangan tanah akibat ekspansi perusahaan sawit skala besar. Bersama rekan-rekan di Petani Center Sulawesi Barat, saya mendampingi mereka, menulis laporan, dan menyuarakan suara yang kerap tak didengar oleh negara. Namun, perjuangan seperti ini sering dianggap ancaman.

Di sinilah pentingnya peran Polri sebagai penegak hukum yang adil dan berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan. Ketika aparat berdiri di sisi rakyat dan melindungi kerja-kerja jurnalistik yang sah, maka kepercayaan publik terhadap institusi Polri akan tumbuh dengan sendirinya. Sebaliknya, jika aparat menutup mata terhadap intimidasi, atau bahkan ikut melanggengkan ketakutan, maka jurang ketidakpercayaan akan semakin lebar.

Saya percaya, reformasi kultural di tubuh Polri harus terus digerakkan. Transparansi, akuntabilitas, dan empati harus menjadi nilai utama dalam setiap tindakan penegakan hukum. Polisi bukan hanya aparat berseragam, melainkan wajah negara yang paling dekat dengan rakyat.

Kisah yang saya alami bukan untuk membuka luka, melainkan untuk mengajak refleksi bersama. Bahwa di balik setiap ancaman kepada jurnalis, ada ancaman yang lebih besar terhadap demokrasi dan hak publik untuk tahu. Jika jurnalis dibungkam, maka rakyat kehilangan mata dan telinganya.

Saya menulis ini dengan satu harapan besar: semoga pengalaman pribadi ini bisa menjadi inspirasi bagi Polri untuk terus berbenah, menjadi institusi yang lebih terbuka, profesional, dan melindungi semua warga tanpa diskriminasi. Karena sejatinya, Polri dan jurnalis berada di jalan yang sama, menjaga kebenaran, melindungi keadilan, dan memastikan suara rakyat tetap hidup di negeri ini.

Semoga ke depan tak ada lagi jurnalis yang diteror, disindir sinis, atau direndahkan saat mencari keadilan. Biarlah peristiwa yang saya alami menjadi pengingat bahwa setiap kata dan tindakan aparat memiliki makna besar bagi kepercayaan publik. Saya tetap percaya: di balik seragam yang gagah dan pena yang tajam, masih ada ruang untuk saling menghargai, saling melindungi, dan bersama menjaga negeri ini agar tetap berdiri di atas kebenaran dan keadilan. (*)

_Artikel kiriman seorang wartawan di Sulawesi_

Narasumber : Wilson Lalengke Ketua Umum PPWI

Editor : Nofis
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ketika Rumah Saya Diteror: Harapan untuk Polri yang Lebih Transparan dan Melindungi Jurnalis

Trending Now

Iklan

iklan