Melangkah Tenang di Tengah Riuh Maskulinitas

Redaksi
Desember 10, 2025 | Desember 10, 2025 WIB Last Updated 2025-12-10T15:42:29Z
Oleh : Novita sari yahya 

Ketika Kesempatan Datang untuk Kedua Kalinya

Kesempatan besar sering datang dengan langkah pelan. Tidak selalu mengetuk dengan keras, tidak selalu disambut sorak-sorai. Kadang ia muncul dalam bentuk pesan pendek yang dikirim pada sore hari ketika pikiran sedang sibuk mengatur hidup yang terasa biasa saja. Itu pula yang saya alami ketika tawaran menjadi dewan pembina sebuah organisasi masyarakat kembali datang, lima belas tahun setelah kesempatan pertama pernah mampir dan terpaksa saya biarkan pergi.

Waktu itu saya masih terlalu muda. Dunia terasa bising, anak-anak masih kecil, dan pengalaman saya tidak cukup untuk berdiri teguh di ruang yang penuh dinamika. Maka saya tidak mengambilnya. Bukan karena saya takut, tetapi karena saya tahu saat itu saya belum siap. Ada keputusan yang hanya tepat bila diambil pada waktu yang matang, dan saya tidak ingin menjadi sosok yang masuk ke ruangan hanya untuk memperlihatkan ketidaksiapan sendiri.

Namun lima belas tahun kemudian, pesan itu kembali mampir. Kali ini saya tidak tersenyum canggung atau mempertimbangkan panjang. Entah mengapa, jari saya bergerak lebih dulu dan menuliskan jawaban sederhana: “Baik, saya siap.”

Ada rasa lega, rasa tenang, dan sedikit rasa geli karena rupanya hidup memang punya cara sendiri untuk menunggu kita sampai benar-benar siap.

Memasuki ruang ormas yang dihuni mayoritas pria membuat saya seperti memasuki panggung teater yang naskahnya sudah lama ditulis oleh maskulinitas. Ada suara keras yang bergulung-gulung setiap kali rapat dimulai, ada ketukan meja yang dianggap sebagai bahasa universal untuk menunjukkan ketegasan, dan ada cara duduk dengan sandaran kursi ditarik jauh ke belakang seolah itu simbol wibawa.

Saya, tentu saja, tidak bisa menirunya. Sandaran kursi saya justru semakin merapat ketika rapat makin tegang. Suara saya tidak beresonansi seperti megafon. Saya tidak tahu bagaimana cara memukul meja tanpa terlihat sedang marah kepada diri sendiri. Tetapi saya membawa sesuatu yang tidak mereka duga: ketenangan yang membuat ruangan perlahan berubah nada.

Saya tidak perlu bersaing dalam keras-kerasan suara. Saya cukup menunggu. Menatap. Merespons dengan satu kalimat yang menusuk tetapi tetap berlapis senyum. Anehnya, itu jauh lebih efektif daripada tiga puluh menit debat yang tidak perlu.

Di situ saya sadar: ketenangan bukan kelemahan. Justru ia senjata paling halus yang membuat orang lain memperhatikan tanpa perlu diberi instruksi untuk mendengarkan.

Terkadang saya merasa seperti sebatang lilin kecil yang ditempatkan di tengah tumpukan obor. Terlihat tidak sepadan, namun justru lilin kecil itulah yang membuat orang sadar bahwa cahaya tidak selalu harus menyilaukan untuk memimpin jalan.

Ada beberapa momen ketika suasana rapat mengingatkan saya pada film-film yakuza: banyak gestur tegas, nada bicara naik-turun, dan drama yang mungkin bisa ditulis ulang menjadi tiga episode sinetron. Hanya saja bedanya, ormas ini legal, tertib administratif, dan berpegang pada aturan negara. Tidak ada senjata tajam; hanya tajamnya ego yang kadang menari terlalu liar.

Di tengah suasana begitu, saya sering merasa menjadi tokoh perempuan yang muncul di tengah pesta perdebatan pria bukan untuk memecah keributan, tetapi untuk menunjukkan bahwa ruang bisa ditata ulang tanpa harus mengubah fondasi siapa pun.

Dan lucunya, setiap kali saya berbicara, ruangan perlahan mereda. Suara bariton yang tadi bertemu di udara seolah turun satu oktaf, dan saya melihat bagaimana laki-laki itu mulai menyesuaikan nada mereka. Itu bukan kemenangan besar, tetapi cukup menjadi bukti kecil bahwa kehadiran perempuan bukan gangguan melainkan penyeimbang.

Saya belajar dari banyak pemimpin perempuan yang pernah menaklukkan arena politik jauh lebih keras daripada ruang rapat. Margaret Thatcher, misalnya, memimpin Inggris dengan tangan yang lebih kokoh daripada banyak perdana menteri laki-laki. Angela Merkel mengelola Eropa dalam krisis tanpa perlu menaikkan volume suaranya. Indira Gandhi pernah membuat lawan politiknya kehabisan strategi. Bahkan Corazon Aquino menggulingkan rezim diktator hanya dengan tekad dan keberanian moral.

Setiap dari mereka mengajarkan hal yang sama: ketegasan tidak harus maskulin. Ketegasan bisa lahir dari suara perempuan. Dari pikiran yang jernih. Dari langkah yang tidak terburu-buru.

Dan saya membawa pelajaran itu ke dalam ruang ormas yang penuh maskulinitas. Bukan untuk menunjukkan bahwa saya mampu bertarung seperti mereka, tetapi untuk menunjukkan bahwa tidak semua pertempuran harus diselesaikan dengan gaya perang laki-laki.

Laki-laki sering memandang kepemimpinan sebagai panggung adu suara; perempuan memandangnya sebagai ruang membaca emosi. Itu sebabnya perempuan lebih sabar menunggu orang selesai marah, baru kemudian menempatkan satu kalimat yang merapikan semuanya seperti tangan ibu yang merapikan kerah baju anaknya.

Di sinilah saya merasa peran saya tumbuh. Bukan sebagai dekorasi yang ditempatkan agar organisasi terlihat “lengkap”, tetapi sebagai penentu arah yang bekerja tanpa banyak gimik. Saya tidak memerintah, saya mengarahkan. Saya tidak berteriak, saya menimbang. Saya tidak memukul meja, tetapi saya memastikan meja itu tetap berdiri utuh setelah rapat selesai.

Itu bukan gaya memimpin yang bising, tetapi gaya memimpin yang membuat orang berpikir dua kali sebelum bertindak gegabah.

Saya pernah bertanya pada diri sendiri: mengapa dunia yang begitu keras pada akhirnya membutuhkan kehadiran perempuan? Jawabannya ternyata sederhana: karena kekuatan tidak selalu berbentuk benturan. Kadang kekuatan justru berbentuk ketenangan yang menghadapi badai dengan kepala dingin.

Laki-laki boleh ahli berdebat, tetapi perempuan ahli dalam membaca jeda. Di antara jeda itu, sering kali ada solusi yang tidak bisa dilihat oleh mereka yang sibuk mengangkat suara.

Peran saya sebagai dewan pembina membuat saya melihat bahwa organisasi tidak hanya butuh aturan, tetapi juga butuh seseorang yang mampu menjaga emosi seluruh ruangan tetap waras. Saya tidak mengganti gaya mereka. Saya hanya menambahkan rasa. Seperti meneteskan sedikit gula ke dalam gelas kopi hitam—aromanya berubah, suasananya bergeser, dan semua orang mulai minum dengan lebih pelan.

Saya akhirnya memahami bahwa menjadi perempuan di dunia maskulin bukan berarti harus menjadi keras. Perempuan justru hadir untuk menunjukkan alternatif: bahwa kekuatan bisa halus, bahwa pengaruh bisa senyap, dan bahwa kepemimpinan tidak harus dibuktikan melalui amarah.

Kesempatan kedua yang datang ini tidak saya ambil untuk membuktikan apa pun kepada dunia. Saya ambil karena saya tahu, pada titik tertentu hidup menuntut kita untuk berhenti berjalan di pinggir dan mulai masuk ke tengah panggung. Tidak untuk menjadi sorotan, tetapi untuk mengatur ritme.

Kini saya melangkah di tengah riuh maskulinitas bukan sebagai tamu, bukan sebagai simbol, tetapi sebagai pemimpin yang bergerak dengan langkah tenang. Sebab saya percaya:
ketenangan yang konsisten lebih kuat daripada suara keras yang cepat lelah.

Dan ketika ada meja bergetar karena emosi laki-laki, saya tidak perlu memukulnya balik. Saya hanya perlu duduk tegak, menatap mereka satu per satu, lalu berkata pelan:

“Mari kita kembali ke inti persoalan.”

Anehnya, itu lebih ampuh daripada satu teriakan pun.

Kesempatan kedua itu benar-benar datang pada waktu yang tepat.
Dan kali ini, saya melangkah tanpa ragu.
Tenang, mantap, dan sepenuhnya menjadi diri saya.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Melangkah Tenang di Tengah Riuh Maskulinitas

Trending Now