Jadi, Pangeran Sake adalah tokoh penting yang silsilahnya berakar kuat dalam sejarah bangsawan Banten dan Cirebon, dengan banyak keturunan yang melanjutkan garis keturunan mereka di Jawa Barat.pada 24/12/25.
Sebuah preseden buruk kembali mencoreng wajah sosial dan budaya Citeureup. Seorang oknum warga berinisial MYK alias IJ dengan tanpa rasa malu diduga mencatut dan membawa-bawa nama tokoh ulama serta kasepuhan Citeureup secara serampangan, demi membenarkan egoisme dan kepentingan pribadi yang miskin etika, nihil adab, dan jauh dari nilai luhur masyarakat setempat.
Perilaku ini bukan sekadar tindakan tidak sopan, melainkan bentuk perampasan simbol moral. Ulama dan kasepuhan yang selama ini menjadi rujukan akhlak, kebijaksanaan, serta peneduh umat, justru dijadikan alat legitimasi oleh oknum yang mempertontonkan sikap tinggi hati, arogansi verbal, dan kecenderungan manipulatif di ruang publik.
Dalam kultur Citeureup, menyebut nama ulama dan kasepuhan bukan perkara ringan. Ia adalah amanah budaya dan moral. Ketika nama-nama itu dipakai tanpa izin, tanpa restu, apalagi untuk membenarkan konflik, intimidasi, atau klaim sepihak, maka yang terjadi bukan penghormatan—melainkan penistaan nilai kasepuhan itu sendiri.
“Ini bukan sekadar etika yang dilanggar, tapi tatanan budaya. Ulama dan kasepuhan Citeureup tidak pernah mengajarkan kesombongan,” ujar salah satu budayawan lokal dengan nada geram.
Potensi Pelanggaran Hukum: Bukan Sekadar Masalah Moral
Dari sudut pandang hukum, pencatutan nama tokoh agama dan kasepuhan tanpa hak dapat mengarah pada dugaan perbuatan melawan hukum, terlebih jika digunakan untuk mempengaruhi opini publik, menekan pihak lain, atau menimbulkan kegaduhan sosial. Tindakan tersebut berpotensi melanggar prinsip dalam Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum, serta dapat ditafsirkan sebagai bentuk penyalahgunaan nama baik dan otoritas moral seseorang.
Jika dilakukan secara lisan atau tertulis di ruang publik dan menimbulkan dampak sosial, tindakan itu juga berpotensi masuk dalam kategori perbuatan tidak menyenangkan atau penyebaran narasi menyesatkan yang merugikan pihak lain.
Budaya Dibunuh oleh Ego
Yang lebih mengkhawatirkan, tindakan oknum ini mencerminkan gejala sosial yang berbahaya: ketika ego pribadi lebih diagungkan daripada adab, dan simbol agama diperdagangkan demi kepentingan sesaat. Ini bukan hanya soal satu orang, tetapi soal pembusukan nilai sosial jika dibiarkan tanpa koreksi.
Masyarakat Citeureup menilai, sikap semacam ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap warisan budaya lokal yang menjunjung tinggi musyawarah, rendah hati, dan penghormatan terhadap para sepuh.
“Kalau semua orang bebas membawa-bawa nama ulama untuk kepentingan pribadi, maka rusaklah tatanan. Citeureup bukan milik orang yang paling keras suaranya,” tegas seorang tokoh pemuda.
Desakan Klarifikasi dan Pertanggungjawaban Moral
Publik mendesak agar oknum tersebut segera:
Menghentikan pencatutan nama ulama dan kasepuhan Citeureup
Menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf secara terbuka
Mengembalikan marwah tokoh-tokoh yang telah diseret ke dalam konflik tidak bermartabat
Jika tidak, masyarakat menilai perlu ada langkah sosial bahkan hukum untuk mencegah praktik serupa terulang kembali.
Citeureup dibangun oleh adab, bukan oleh suara lantang tanpa akhlak. Ulama dan kasepuhan adalah lentera moral, bukan tameng ego. Ketika nilai-nilai itu diinjak oleh ambisi segelintir oknum, maka diam bukan lagi pilihan—melainkan pembiaran terhadap kehancuran jati diri sosial.
Red-el.