Putusan MK dan Paradoks Jabatan Anggota Polisi

Basirun
Desember 13, 2025 | Desember 13, 2025 WIB Last Updated 2025-12-13T16:12:17Z
Jakarta,detiksatu.com -- Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan batas kewenangan negara, ia berharap negara akan tunduk bukan sekadar menghormati teks, tetapi juga menerjemahkan makna konstitusinya dalam praktik birokrasi. Tetapi pembangunan regulasi terakhir oleh Kapolri, yang membuka peluang anggota polisi aktif menduduki jabatan di 17 kementerian dan lembaga sipil, menunjukkan sesuatu yang lebih janggal: putusan MK dipatuhi di atas kertas, tetapi ditelikung di lapangan.


Lead tajam ini bukan tanpa alasan. Pada Kamis, 13 November 2025, Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menghapus frasa yang selama ini menjadi celah bagi polisi aktif menjabat di luar Polri tanpa mundur atau pensiun dari dinas. Putusan itu sebenarnya menegaskan kembali prinsip yang sederhana namun krusial: polisi aktif yang ingin menjabat di luar institusi kepolisian harus terlebih dahulu mengundurkan diri atau memasuki masa pensiun.

Mahkamah menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Ketentuan tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena menafsirkan bahwa penugasan Kapolri bisa menjadi pintu masuk bagi polisi aktif ke ranah sipil. MK membatasi ruang itu, menegaskan bahwa jabatan publik di luar Polri hanya boleh ditempati setelah status aktif dilepas—bukan atas dasar penugasan apapun.

MK menggambarkan putusan itu sebagai koreksi tegas atas praktik multitafsir yang berpotensi mengaburkan garis antara aparat penegak hukum dan jabatan sipil administratif. Fakta di lapangan, menurut risalah sidang, adalah bahwa sejumlah perwira aktif telah merangkap jabatan sipil strategis—mulai dari komisi independen sampai eselon kementerian—tanpa proses mundur atau pensiun resmi, sebuah kondisi yang dianggap pemohon mengurangi netralitas, meritokrasi, serta kesempatan yang adil bagi ASN non-polri.

Namun dinamika berikutnya memperlihatkan apa yang selama ini menjadi kecemasan banyak pakar: putusan konstitusi itu tidak secara otomatis mengubah kebiasaan birokrasi dan manuver kelembagaan.

Hanya sebulan setelah putusan itu diucapkan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menandatangani Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025, yang secara eksplisit membuka peluang bagi anggota Polri aktif untuk bertugas di luar struktur kepolisian—termasuk 17 kementerian dan lembaga negara seperti Kemenko Polhukam, Kemenhub, Kemenkumham, OJK, PPATK, BNN, BNPT, BIN, BSSN, KPK, dan lain-lain. Ketentuan ini menjelaskan bahwa anggota Polri dapat mengisi “jabatan manajerial dan non-manajerial” di luar Polri berdasarkan permintaan instansi bersangkutan.

Jika ditelaah lebih jauh, Perpol tersebut membuka ruang luas bagaimanapun polisi aktif tetap mengisi jabatan sipil strategis—selama ada penugasan formal dari kementerian/lembaga. Inilah ironi konstitusional yang nyata: di satu sisi MK mempertegas perlunya pemisahan antara status aktif dan jabatan sipil, sementara di sisi lain, aturan kelembagaan dibuat sedemikian rupa sehingga penempatan aktif tetap dimungkinkan dengan “balutan formal penugasan”.

Beberapa hakim MK memang mengakui bahwa inti putusan bukan larangan mutlak bagi polisi menjabat di luar Polri, tetapi penegasan bahwa penjelasan pasal tidak boleh memperluas norma utama (yaitu, harus pensiun atau mundur). Namun, semangat putusan itu—yang ingin mempertegas batas fungsi kepolisian dan mendorong profesionalisme birokrasi sipil—justru diuji oleh praktik manuver regulatif ini.

Respons pemerintah dan DPR juga tidak sepenuhnya tegas. Menteri Hukum dan HAM menyatakan putusan MK tidak berlaku surut bagi polisi yang sudah menjabat sipil, sementara DPR menyatakan akan mengkaji implikasi transisi sebagai akibat keputusan ini. Kebijakan transisi dan penafsiran tentang jabatan apa saja yang “masih berkaitan dengan fungsi kepolisian” terus menjadi ruang negosiasi politik dan administratif.

Fenomena ini mencerminkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar tarik-menarik hukum positif: kekuasaan administratif sering mencari celah untuk mempertahankan pengaruhnya, meskipun konstitusi sudah membatasi ruang itu. Putusan MK di satu sisi telah mempertegas netralitas dan profesionalisme institusi penegak hukum; di sisi lain, aturan lembaga dan rapat internal membuat batas itu semakin kabur.


Dalam konteks layanan publik, dampaknya signifikan. Keputusan MK seharusnya mempertegas bahwa jabatan sipil adalah domain meritokrasi dan kompetensi administratif yang setara bagi semua warga, bukan sekadar perpanjangan tangan kelembagaan keamanan. Namun ketika aturan internal dikeluarkan yang memungkinkan polisi aktif kembali menjabat, prinsip itu tereduksi. Warga sipil yang memenuhi syarat—yang hanya bisa duduk di posisi sipil setelah seleksi merit—menghadapi kompetisi yang tidak sama dengan kekuatan institusional aparat bersenjata.

Krisis semacam ini bukan semata soal ketidakpatuhan administratif, melainkan tentang konstitusi yang dipenuhi retakan karena interpretasi, peraturan turunan, dan kebiasaan birokrasi yang kuat. Putusan MK harusnya menjadi ujian aktual bagi negara hukum—bukan hanya dokumen yang dikenang dalam jurnal hukum.

Konstitusi menang di ruang sidang, tetapi realitas menunjukkan bahwa ia sering kalah di ruang kebijakan.[]

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Putusan MK dan Paradoks Jabatan Anggota Polisi

Trending Now