Semut di Pesisir Nampak, Gajah di Hadapan Tak Terlihat

Redaksi
Desember 04, 2025 | Desember 04, 2025 WIB Last Updated 2025-12-03T17:29:26Z
Oleh: Agusto Sulistio

Jakarta _Di sebuah negeri yang membanggakan dirinya sebagai negara hukum, kita kadang menyaksikan ironi yang memilukan. Dalam kegaduhan politik, dalam asap yang mengepul dari panggung kekuasaan, ada kisah seorang warga negara yang hingga hari ini masih bergulat dengan ketidakpastian, Eggi Sudjana.

Masih ingat perebutan kekuasaan Pilprea tahun 2019?

Saat suhu politik memanas di tengah sengketa Pilpres, Eggi berdiri di sebuah panggung orasi di depan rumah Prabowo Subianto. Menyuarakan keresahan tentang dugaan kecurangan pemilu, sebuah keresahan yang saat itu juga disuarakan banyak warga lainnya. Dari mulutnya lahir kata “people power”, yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai ajakan makar.
Di situlah pintu masalah terbuka dan muncul.

Komjen Suyudi Ariotejo (Kini Kepala BNN), kala itu masih bertugas di Polda Metro Jaya, memproses dan menangkap Eggi. Tanpa melalui proses pengadilan, Eggi ditahan 41 hari lamanya, dan status tersangka makar melekat hingga kini, 3 Desember 2025, hari di mana ia merayakan miladnya.

Bayangkan, enam tahun seorang warga negara hidup dengan status hukum yang menggantung.

Enam tahun menunggu kepastian yang tak kunjung turun.

Enam tahun merasa seperti berada dalam lorong gelap tanpa penunjuk arah.
Dan ketika publik belum selesai bertanya mengapa status lamanya tak pernah dicabut, muncul kasus baru, Eggi kembali dijadikan tersangka dalam polemik ijazah Jokowi.

Padahal di sisi lain, banyak pengamat, akademisi, dan tokoh masyarakat justru mempertanyakan mengapa arah penyelidikan terlihat timpang, mengapa langkah-langkah hukum terasa ganjil, dan mengapa suara kritis justru yang sering menjadi sasaran.

Apa yang menimpa Eggi bukan sekedar perkara personal.
Ini adalah cerita tentang betapa sukarnya rakyat biasa mendapatkan kepastian hukum di negeri yang seharusnya menempatkan kepastian sebagai mahkota keadilan.

Pepatah lama kembali terngiang, “Semut di pesisir nampak, gajah di hadapan tak terlihat.” Yang kecil diburu, yang besar berlalu. Yang jauh dipersoalkan, yang dekat dibiarkan.

Kita tentu tak ingin hidup di negara seperti itu. Negara yang besar bukanlah negara yang kuat menindak rakyat kecil, tetapi negara yang adil, yang berani menatap persoalan besar tanpa kurang akal atau nyali.

Al-Qur’an sudah menegaskan, Setiap kezaliman, sekecil apa pun, akan kembali kepada pelakunya.

Hukum alam tak bisa disuap, hukum Tuhan tak bisa dibelokkan.

Di dalam gerbong KA Commuter rel Bogor–Jakarta jelang sore ini, saya menulis catatan ini sambil memandangi wajah-wajah yang lelah tapi tetap berharap. Harapan akan negara yang bersih, jujur, dan berani menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.

Semoga suatu hari, Bang Eggi Sudjana dan setiap warga negara lain tidak lagi berjalan dalam kabut hukum yang tak menentu. Dan semoga bangsa ini belajar melihat gajah di depan mata, bukan hanya sibuk memburu semut di kejauhan.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Semut di Pesisir Nampak, Gajah di Hadapan Tak Terlihat

Trending Now

Iklan

iklan