KUPANG, DETIKSATU.COM | Ratusan warga eks Timor-Timur yang sejak 1999 menetap di wilayah Naibonat, Kabupaten Kupang, turun ke jalan dan menggeruduk Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (16/6). Aksi ini sebagai bentuk penolakan terhadap program relokasi ke Burung Unta yang dinilai tidak manusiawi, cacat hukum, dan tanpa kepastian hak atas tanah.
Massa yang tergabung dalam Aliansi Nasional untuk Demokrasi Baru (ANDB) menuntut pembatalan relokasi dan menegaskan hak mereka atas tanah yang telah ditempati selama lebih dari dua dekade.
"Kami Rela Mati, Tapi Jangan Rampas Tanah Kami"
Dalam pertemuan dengan pemerintah yang difasilitasi di ruang Asisten I Setda NTT, perwakilan warga, Imanuel Martens, menyampaikan suara hati komunitas eks Timtim yang merasa terlupakan negara.
"Perumahan itu untuk kami, tapi apakah layak? NKRI itu harga mati buat kami. Kami bela mati-matian demi negara ini. Tapi tanah dan air kami tidak miliki. Apakah kami ini masyarakat Indonesia atau bukan?" ujarnya dengan nada tinggi.
Ia menyebut rumah-rumah yang dibangun hanya berukuran 110 meter persegi dan tidak memiliki fasilitas dasar seperti sekolah, puskesmas, bahkan lahan pertanian. Padahal, mayoritas warga adalah petani. Lebih jauh, program ini juga mengabaikan generasi kedua warga eks Timtim yang telah tumbuh besar di Indonesia.
"Tiap lima tahun kami diminta memilih, tapi habis pemilihan, kami digusur. Kira-kira kami ini warga mana?" tegasnya.
Dalam puncak emosinya, Imanuel menyampaikan penolakan keras terhadap relokasi, "Tanah yang kami tinggal ini tidak akan kami kasih, kecuali kami rampas. Apapun yang terjadi. Daripada kami kesana, kami kasih mati anak-anak," ucapnya lirih namun keras.
Proyek 2100 Rumah Dinilai Cacat Prosedural dan Sarat Masalah
Koordinator Umum aksi, Henri, menegaskan bahwa proyek 2100 rumah di Burung Unta tidak hanya cacat secara prosedural, tetapi juga bermasalah dari sisi hukum dan keadilan sosial.
"Rumahnya rusak, tidak ada fasilitas umum, dan pekerjanya tak digaji. Kami minta Pak Gubernur menyatakan proyek ini tidak layak," tegasnya.
Henri juga mengungkap dugaan korupsi dalam distribusi bantuan dan menuntut agar aparat menindak tegas praktik percaloan dan penyalahgunaan anggaran.
"Sudah 27 tahun kami tinggal di sana, hak kami dirampas. Kami datang ke sini sebagai warga NKRI, bukan pengemis," tambahnya.
Ia juga mengecam kehadiran aparat yang justru dianggap memojokkan warga alih-alih melindungi.
Aliansi Reforma Agraria: “Akar Masalahnya adalah Hak Atas Tanah”
Syahrul dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria menyatakan bahwa inti persoalan adalah tidak adanya kepastian hukum atas tanah yang sudah ditinggali selama 27 tahun.
"Mereka dianggap pengkhianat kalau mau kembali ke Timor Leste, tapi kalau tetap di sini hidupnya tidak jelas. Ini diskriminasi berlapis," katanya.
Syahrul menilai proyek 2100 rumah bertentangan dengan prinsip partisipatif dalam UU No. 2 Tahun 2012 dan PP No. 19 Tahun 2021.
"Sebagus apapun rumah 2100, kalau warga tidak mau, ya jangan dipaksakan. Yang mereka butuh itu kepastian atas tanah," ucapnya.
Ia juga menyinggung bahwa sertifikat rumah yang tidak bisa diwariskan bertentangan dengan prinsip reforma agraria. Ia mengaitkan hal ini dengan konflik agraria di Pulau Kera yang juga belum diselesaikan secara adil.
"Pemerintah bilang HGU belum diperpanjang, tapi perusahaan bilang sudah. Ini membingungkan masyarakat. Semua aktivitas di Pulau Kera harus dihentikan sampai ada kepastian hukum," ujarnya.
Pemerintah Akui Banyak Masalah, Akan Kaji Ulang Program
Kepala Dinas PUPR Provinsi NTT, Ir. Benyamin Nahak, MT., mengakui bahwa proyek 2100 rumah menyimpan banyak masalah, baik dari segi teknis maupun sosial.
"Kami akan kaji ulang model sertifikatnya. Tidak boleh ada pemaksaan. Kalau ini bantuan, maka sifatnya sukarela. Kalau relokasi, maka harus dialogis dan manusiawi," jelasnya.
Ia menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN untuk memastikan adanya kejelasan hukum atas tanah warga Naibonat.
Sementara itu, Kapolresta Kupang Kota Kombes Pol Aldinan RJH Manurung menyatakan Polri akan memastikan aksi berlangsung damai dan aspirasi masyarakat tersalurkan.
"Kami akan bantu koordinasi agar masyarakat tidak kehilangan haknya," tegasnya.
Pihak Dinas Ketenagakerjaan juga berjanji akan menyelidiki kondisi kerja di proyek rumah 2100, termasuk soal upah dan kontrak kerja yang belum dipenuhi.
Tuntutan Warga Menggema hingga Kejaksaan Tinggi
Usai menggelar aksi di Kantor Gubernur, massa bergerak ke Kantor Kejati NTT untuk menuntut transparansi dan penegakan hukum. Mereka membawa 14 tuntutan, antara lain:
Pengakuan hak tanah eks Timtim
Penolakan relokasi ke Burung Unta
Penuntasan kasus korupsi proyek 2100 rumah
Penghentian intimidasi terhadap warga
Penegakan keadilan di Pulau Kera
Pemeriksaan terhadap BUMN dan oknum di balik proyek
Catatan Akhir: Antara Nasionalisme dan Kenyataan Sosial
Kisah warga eks Timtim di Naibonat bukan sekadar soal relokasi atau rumah. Ini tentang 27 tahun hidup dalam ketidakpastian sebagai warga negara yang pernah mengorbankan segalanya demi Indonesia. Jika negara hadir hanya sebagai penguasa tanah tanpa memberikan jaminan hak, maka nasionalisme yang selama ini dipertahankan warga, bisa perlahan berubah menjadi luka sejarah yang terus diwariskan.
Reporter: Djohanes bentah.