Pantauan tim media pada Jumat (20/6/2025), para korban resmi melaporkan persoalan ini karena sekitar 300 nama mahasiswa penerima Program Indonesia Pintar (PIP) yang sebelumnya telah ditetapkan pada masa kepemimpinan Rektor Harun Y. Natonis, mendadak dihapus dari daftar saat terjadi pergantian kepemimpinan. Ironisnya, para mahasiswa tersebut telah dinyatakan sah sebagai penerima dan bahkan sudah menerima pencairan tahap pertama. Namun, pada tahap kedua, nama mereka secara tiba-tiba dicoret tanpa alasan yang jelas dan tanpa pemberitahuan resmi dari pihak kampus sebuah tindakan yang menimbulkan kecurigaan akan praktik maladministrasi.
“Kami hari ini mengadu ke Ombudsman karena sebelumnya dinyatakan lolos Seleksi Nasional (Selnas) dan ditetapkan sebagai penerima KIP Kuliah. Tapi tiba-tiba nama kami hilang dari daftar tanpa penjelasan apapun. Akibatnya, kami tidak bisa lagi membayar UKT dan terpaksa gagal melanjutkan kuliah,” ungkap salah satu mahasiswa korban yang enggan disebutkan namanya saat berada di Kantor Ombudsman NTT.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, awalnya sekitar 1.100 mahasiswa ditetapkan sebagai penerima bantuan PIP pada tahun anggaran sebelumnya. Namun setelah pergantian kepemimpinan di IAKN Kupang, sebanyak 300 nama mahasiswa dicoret secara sepihak, tanpa adanya mekanisme keberatan, sosialisasi, ataupun penjelasan terbuka kepada para penerima. Situasi ini memicu dugaan adanya praktik diskriminatif dalam pengelolaan bantuan negara yang semestinya transparan dan akuntabel.
"Kan awal masuk kuliah, kami lulus dan nama sudah tercantum dalam SK (Surat Keputusan), sehingga kami juga sudah tandatangani SK itu, termasuk jumlah dananya; Rp13.200.000. Tapi dibatalkan sepihak. Jadi kami adukan ini agar ada keadilan. Jangan sampai kampus menjadi tempat mempermainkan nasib mahasiswa tidak mampu. Kami ini bukan orang berada, kuliah satu-satunya harapan," jelas sejumlah mahasiswa yang menjadi korban.
Mahasiswa tersebut menaruh harapan besar untuk berkuliah di IAKN Kupang. Namun, mereka merasa hak untuk menuntut ilmu justru dibatalkan secara sepihak dan tanpa kejelasan.
"Kalau nama kami sudah ditetapkan dan tercantum dalam SK, itu berarti dananya sudah masuk, kan? Lalu kalau tidak disalurkan, uangnya lari ke mana? Masuk ke sakunya siapa? Sampai-sampai nasib kami yang jadi korban," kritik para mahasiswa korban dengan nada geram.
Atas dasar itu, para mahasiswa bersama keluarga mendesak Ombudsman segera menindaklanjuti aduan mereka, memanggil pihak rektorat IAKN Kupang, serta merekomendasikan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan internal kampus yang dinilai cacat prosedur.
“Kami ingin Ombudsman mengawal kasus ini sampai tuntas. Jangan sampai ada korban berikutnya. Jangan ada lagi mahasiswa gagal kuliah hanya karena permainan birokrasi di IAKN Kupang,” tutup salah satu pelapor kepada Ombudsman RI.
Sementara itu, Rektor IAKN Kupang, Dr. I Made Suardana, M.Th, yang sebelumnya dikonfirmasi media pada Oktober 2024, hanya menyampaikan bahwa kampus tengah melakukan pendataan ulang. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada penjelasan lanjutan dari pihak rektorat. Upaya konfirmasi terus dilakukan media, tetapi pihak kampus terkesan memilih bungkam hingga kini.
Diketahui, persoalan ini dinilai berpotensi melanggar hak konstitusional mahasiswa untuk memperoleh pendidikan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan."
Tak hanya itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga menegaskan kewajiban negara untuk memberikan bantuan kepada mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi, sebagai bagian dari upaya menjamin akses pendidikan yang adil dan merata.
Catatan Redaksi:
Sebagaimana diketahui, apabila seorang mahasiswa telah dinyatakan lulus melalui jalur Seleksi Nasional (SNBP/SNBT) dan diterima sebagai penerima KIP Kuliah (Kartu Indonesia Pintar Kuliah), maka statusnya sudah sah secara administratif dan legal sebagai mahasiswa penerima bantuan pendidikan dari negara. Namun, apabila kemudian terjadi pembatalan sepihak oleh pihak perguruan tinggi hingga mahasiswa tersebut gagal melanjutkan kuliah, maka terdapat sejumlah aspek hukum dan administratif yang patut dicermati, berikut penjelasannya.
1. Status Lulus Seleksi Nasional dan Hak atas Pendidikan Tinggi
Apabila seseorang telah dinyatakan lulus melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNBP atau SNBT), maka yang bersangkutan secara sah memiliki hak untuk diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) tujuan, sebagaimana tercantum dalam pengumuman resmi dari panitia seleksi nasional. Penerimaan ini bersifat resmi dan mengikat, sepanjang tidak ditemukan pemalsuan data, pelanggaran persyaratan administratif, atau ketentuan lain yang ditetapkan secara jelas dalam sistem seleksi nasional.
2. Status sebagai Penerima KIP Kuliah
Apabila mahasiswa telah dinyatakan sebagai penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah), maka yang bersangkutan berhak menerima pembiayaan pendidikan sesuai ketentuan yang diatur oleh Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Penetapan sebagai penerima KIP Kuliah dilakukan melalui proses verifikasi data ekonomi, mencakup status keluarga miskin, hasil seleksi akademik, serta kelengkapan dokumen administrasi yang sah.
3. Pembatalan Sepihak
Jika pembatalan terjadi tanpa alasan yang jelas atau tanpa mekanisme banding, ini berpotensi sebagai: maladministrasi yang melanggar prinsip tata kelola pendidikan yang baik.
Juga dapat mengarah pada diskriminasi atau ketidakadilan, apabila mahasiswa tidak diberi hak untuk membela diri atau memperbaiki kekurangan administratif.
Reporter: Djohanes bentah.